Friday, May 4, 2012

Pelangi Kelabu

Hai jeh.

8.4 kembali lagi, sekarang dengan post tentang cerpen buatan anak Mejikuhibiniu sendiri, Saila Dhiyaul Haq (23), Faiq Iftirul (10), dan Almira Nabila (03).

Nih :

Kelas 8.4
Pelangi Kelabu
 
Hujan di luar seakan-akan berkonspirasi dengan keadaan di dalam ruangan.Terlihat seorang gadis yang meringkuk. Sorotan mata yang tajam dan kosong. Marah, takut, kecewa, sedih entah apa lagi yang ia rasakan. Bayangan kejadian seminggu yang lalu memenuhi pikirannya lagi. Truk itu, jeritan itu, wajah yang berlumuran darah itu, semuanya! Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak mau lagi terperangkap dalam ingatan kejadian mengenaskan tersebut. Kejadian yang membuat ibunya mati dalam kecelakaan beruntun. Sudah lama kejadian tersebut menghantuinya. Mengingatkannya kepada ibunya. Dia sangat ingin bertemu ibunya saat ini.




Sekarang, ia hanya bisa menahan tangis mengingat semuanya. Gadis berumur 14 tahun yang malang, Aristya Kinan. Berambut panjang dan hitam dengan wajah cantik yang membuat iri kebanyakan gadis. Sayangnya, saat ini dia sama sekali tidak memiliki semangat hidup. Andaikan Tuhan berkenan mencabut nyawanya, dia sangat ikhlas. Tapi suara perutnya yang kelaparan, membuyarkan lamunannya. “Aku akan keluar untuk mengambil makanan.” katanya dalam hati.
Cklek!

Bunyi pintu dibuka perlahan. Kinan berjalan menuju dapur. Dia membuka pintu kulkas kemudian mengambil sepotong roti. Setelah menghabiskan rotinya, Kinan kembali ke kamarnya. Ketika akan melewati ruang keluarga, dia mendengar samar-samar suara ayah dan adiknya “Ayah merindukan ibumu, nak” kata ayahnya dengan menghela nafas. “Iya yah, aku juga sangat rindu dengan ibu. Tapi mau bagaimana lagi, ibu sudah tenang di sana” sahut adik laki-lakinya dengan wajah tertunduk. “Andaikan kakak tidak meminta ibu untuk menjemputnya hari itu, mungkin saat ini ibu masih bersama kita” lanjut adiknya. “Hmmm apa boleh buat, sudah terlanjur. Oh iya, suruh kakakmu bersiap-siap untuk sekolah besok, ayah akan mendaftarkannya di sekolah baru” ucap ayahnya.

Kinan hanya terpaku mendengar percakapan tersebut, sakit. Sakit sekali. Kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya sama sekali tidak membuat suasana hatinya membaik. Baru kali ini Kinan disalahkan oleh ayah dan adiknya. Ia pikir ayah dan adiknya benar-benar peduli kepadanya, tetapi itu semua palsu, hanya tipuan. Tanpa sadar ia berlari keluar rumah, meninggalkan ayah dan adiknya yang masih sibuk bercakap-cakap.

******

Kinan merasa kesal dan ingin pergi jauh dari ayah dan adiknya. Malam semakin larut, Kinan berhenti untuk duduk di trotoar. Dingin malam ini berhasil membuat Kinan menggigil. Tiba-tiba seorang anak laki-laki mendekat. “Sedang apa kamu disini?” Tanya anak laki-laki itu. Kinan tidak menggubris pertanyaan laki laki tersebut, dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Anak laki-laki itu terus memandang anak sebaya didepannya. Dia merasa anak di depannya sedang tidak sehat. “Dimana rumahmu?” anak laki-laki itu bertanya lagi.  Tapi Kinan tetap diam. “Namamu siapa?” tanya anak itu lagi. Kinan tetap diam saja, seolah pertanyaan yang diberikan anak laki laki tersebut tidak pernah ada. “Kalau begitu ikutlah denganku, besok kuantar pulang.” ajak anak laki itu sambil memberikan tangannya. Kinan merasa udara dingin semakin menusuk tulangnya. Dia harus mencari tempat yang hangat, kalau dia tidak ingin mati kedinginan malam ini. Akhirnya, Kinan menyambut tangan anak laki-laki didepannya.

******

Gang sempit, rumah kecil, tempat kumuh, bau sampah itulah keadaan rumah anak laki-laki tersebut. Kinan hanya bisa memandanginya. “Namaku Aryo” anak laki itu mengenalkan diri dengan ramah. “Aryo?” Tanya Kinan. “Iya. Siapa namamu?” Aryo kembali bertanya. Tapi tetap saja Kinan enggan menjawab dan kembali termenung. Aryo meninggalkan dia di ruang tengah, tak lama seorang wanita paruh baya keluar sambil membawa selimut. “Tidurlah” kata wanita itu sambil memberikan selimut. Kinan mengambil selimut itu tanpa berkata apapun. Kinanpun tertidur lelap.

******

Esok paginya Kinan terbangun dengan wajah cerah. Dia merasa tertidur sangat tenang meskipun hanya di sofa yang tidak empuk dan jauh dari kata nyaman. Tiba-tiba dia terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya yang memberinya selimut tadi malam. “Kamu mandi saja. Kamar mandinya ada di belakang, maaf kalau sedikit kotor. Di meja ada makanan kalau kamu mau sarapan.” kata ibu Aryo.

“Aryo mana?” Tanya kinan. “Oh Aryo diluar, mau berangkat memulung. Lebih baik kamu ikut dengannya.” jawab ibu Aryo. Kinan hanya termenung mendengar jawaban ibu Aryo. Tapi karena tidak ada hal yang harus dilakukan, Kinan memutuskan untuk ikut Aryo memulung. Sebenarnya Kinan enggan untuk memulung. Pasti jorok sekali pikir Kinan. Tapi mau bagaimana lagi. Kinan mengikuti langkah Aryo dengan malas. Sesampainya di tempat pembuangan sampah, Aryo mengambil barang barang yang kiranya dapat dijual. Tapi Kinan hanya melihat Aryo dari jarak jauh.  Setelah beberapa menit, Aryo mengajak Kinan pulang kerumah. Dalam perjalanan pulang, mereka melewati sebuah sekolah.

Tiba-tiba Aryo menghentikan langkahnya.  Aryo menatap sekolah tersebut dengan tajam. Banyak sekali yang dipirkan Aryo saat ini. Tapi Kinan tidak mengerti penyebabnya. Kinanpun bertanya “Aryo, kamu tidak apa-apa?”. Tapi Aryo tidak menjawab. Kinan pun diam saja. Tidak lama, Aryo pun mulai bicara lagi “Tahukah kau aku bosan dengan kehidupanku?” Kinan bingung harus menjawab apa, jadi dia hanya diam saja. Aryo pun melanjutkan “Anak pemulung. Apa bagusnya menjadi pemulung?” Aryo tersenyum tipis. “Seandainya aku masih bisa sekolah, aku akan belajar dengan keras, mengapai cita citaku. Sebenarnya aku tidak memiliki cita cita, untuk apa memiliki cita cita kalau sekolah pun aku tidak bisa.” Kinan kaget mendengar ucapan Aryo.

“Tetapi setidaknya kau masih mempunyai keluarga yang menyayangimu dengan tulus, kau masih mendapat perhatian dari ibumu. Sedangkan aku, aku hanya menjadi beban di keluargaku, ayah dan adikku hanya berpura-pura peduli kepadaku, padahal dibelakang ini mereka semua selalu menyalahkanku” ucap Kinan dengan sedikit nada iri. “Sebentar, mengapa ayah dan adikmu melakukan itu?” tanya Aryo. Kinan kemudian menceritakan kejadian yang ia alami selama ini. Aryo mengerti, dia paham bagaimana perasaan Kinan. “Kau masih beruntung” komentar Aryo pada akhirnya. “Apa? Beruntung? Apa kau tuli? Ibuku meninggal karena kecelakaan, ayah dan adikku menyalahkanku, dan sekarang mereka sama sekali tidak peduli denganku. Apa kau masih bisa berkata bahwa aku beruntung?” Jawab Kinan dengan alis berkerut.”Setidaknya kau masih bisa bersekolah, kau masih bisa mendapat ilmu, ayahmu masih mau menyekolahkanmu. Kau sangat beruntung. Kau lihat aku? Aku hanya seorang pemulung yang tidak bisa bersekolah, andaikan aku diberi satu permintaan saja, maka aku akan meminta bisa bersekolah. Hanya itu. Ibuku tidak mempunyai uang untuk menyekolahkanku, jangankan sekolah, makan saja sangat pas-pasan. Kau seharusnya bersyukur" jelas Aryo sembari memandang siswa-siswa yang berlalu lalang di balik pagar sekolah.

Kinan sadar, dia sadar bahwa sikapnya selama ini salah. Kabur dari rumah tanpa menghiraukan perintah ayahnya yang menyuruhnya sekolah, dia terlalu egois. Seharusnya dia bersyukur, ayahnya masih mau membiayainya untuk sekolah. Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia putus sekolah. “Aryo, terima kasih atas semuanya. Aku sadar, seharusnya aku tidak kabur dari rumah, seharusnya aku mendengarkan penjelasan ayahku terlebih dahulu. Kapan-kapan kita bertemu lagi ya, aku akan membawakanmu buku pelajaran dan kita belajar bersama!” Aryo hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum tipis.

******

“Ayah! Ayah! Adik? Di mana kalian?” suara Kinan memecah keheningan rumahnya siang itu, tidak ada siapa-siapa. Kinan berjalan menuju kamar adiknya, di situ dia melihat adiknya menelepon seseorang “Halo, ayah? Ayah, Kakak belum pulang, dari pagi aku sudah mencarinya bersama Bi’ Nah, seluruh komplek sudah kami telusuri, tapi kakak belum juga ketemu. Apa? Ayah juga belum menemukannya? Ya sudahlah, baiklah nanti malam kita cari bersama.” Mendengar percakapan adik dan ayahnya Kinan merasa sangat bersalah, seharusnya dia tidak gegabah mengambil keputusan untuk pergi dari rumah. “Dik! Kakak di sini, maafkan kakak dik” Kata Kinan sambil berlari memeluk adiknya.

“Kakak! Akhirnya kakak pulang juga, aku dan ayah sangat merindukan kakak. Dari mana saja kakak? ah! aku harus menelepon ayah” kata adiknya sembari menekan-nekan tombol telepon. Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberiku sebuah keluarga yang sangat menyayangiku, terima kasih Tuhan Engkau telah mempertemukanku dengan Aryo, seorang anak yang membuatku sadar akan pentingnya ilmu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah Engkau berikan kepadaku untuk menuntut ilmu di dunia ini. Aku berjanji akan belajar segiat mungkin. Seperti yang dikatakan bapak pendidikan Indonesia, Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut Wuri Handayani. Walaupun aku tidak mengerti secara mendalam apa artinya, tapi aku percaya. Kita tidak akan bisa hidup tanpa ilmu.

******

Hari ini hari pertamanya masuk sekolah kembali. Entah mengapa, sejak bertemu Aryo, dia mulai mendapatkan semangat hidupnya. Tidak ada yang special dari Aryo, dia hanya pemulung sampah yang ingin sekolah kembali. Tapi kata katanya yang polos dapat merubah Kinan. Sekarang semuanya berubah. Sekarang Kinan semangat sekali untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda. Kinan mendaftarkan diri sebagai murid baru di SMP Mutiara. Sudah 2 minggu Kinan bersekolah di SMP Mutiara, banyak sekali pelajaran yang ia dapat. Otaknya kembali terisi. Tidak terbayang akan jadi apa dia besar nanti kalau dia tidak melanjutkan sekolah ini. Beruntung sekali dia bertemu Aryo yang dapat menyadarkan akan pentingnya pendidikan itu. Baik untuk diri sendiri maupun orang terdekat kita. Kinan memang pandai bersosialisasi, itu sebabnya dia sudah memiliki banyak teman. Malahan, Kinan ditunjuk untuk mewakili kelasnya sebagai panitia dalam acara peringatan Hardiknas.

Kinan sangat aktif dalam kegiatan persiapan acara Hardiknas. Karena dalam acara tersebut, para panitia akan membagi-bagikan buku dan memberikan dana hasil iuran untuk para pemulung. Dia teringat janjinya kepada Aryo. Tapi sebelum kegiatan tersebut dimulai, akan ada pembukaan yang ditunggu tunggu Kinan. Tidak ada yang menarik dalam pembukaan acara Hardiknas di sekolah tersebut. Tapi bagi Kinan pembukaan tersebut sangat penting. Karena acara tersebut akan dibuka oleh kepala sekolah. Kinan sudah lama ingin melihat wajah ibu kepala sekolahnya, karena banyak anak yang membicarakan bahwa ada kemiripan di wajah Kinan dan ibu kepala sekolah. Malah ada yang mengira Kinan adalah anak ibu kepala sekolah.

Ibu kepala sekolah mulai berjalan menuju keatas panggung. Ada banyak sekali anak yang mengitari panggung tersebut. Wajahnya tidak terlalu jelas dari tempat Kinan menyaksikan. Tapi saat ibu kepala sekolah sudah berada di atas panggung, wajah ibu kepala sekolah terlihat sangat jelas. Hampir saja Kinan jatuh karena kaget akan apa yang dilihatnya. Wajah ibu kepala sekolah sangat sangatlah mirip dengan wajah ibu Kinan yang telah meninggal. Hanya saja ada tahi lalat di bibirnya. Namun, tahi lalat tersebut tidak dapat menghentikan ingatan Kinan akan peristiwa penyebab ibunya meninggal. Namun perasaannya saat ini berbeda dengan yang biasa ia rasakan ketika mengingat peristiwa tersebut. Sulit sekali untuk menjelaskan bagaimana perasaanya saat ini. Ada perasaan senang karena dapat melihat wajah ibunya, namun ada juga perasaan takut karena ia dapat melihat wajah ibunya kembali. Tanpa diduga, Kinan tersenyum tipis.
----SELESAI----

No comments:

Copyright © 2012. Template Simple by Josh Peterson. 100% edited by Mejikuhibiniu’s Blogger Crew